Minggu, 05 September 2010

Jaga 7 Sunnah Rasulullah s.a.w

"Cerdasnya orang yang beriman adalah dia yang mampu mengolah hidupnya yang sesaat, yang sekejap untuk hidup yang panjang. Hidup bukan untuk hidup, tetapi hidup untuk Yang Maha Hidup. Hidup bukan untuk mati, tapi mati itulah untuk hidup.

Kita jangan takut mati, jangan mencari mati, jangan lupakan mati, tapi rindukan mati. Karena, mati adalah pintu berjumpa dengan Allah SWT. Mati bukanlah cerita dalam akhir hidup, tapi mati adalah awal cerita sebenarnya, maka sambutlah kematian dengan penuh ketakwaan.

Hendaknya kita selalu menjaga tujuh sunnah Nabi setiap hari. Ketujuh sunnah Nabi SAW itu adalah:

Pertama: tahajjud, karena kemuliaan seorang mukmin terletak pada tahajjudnya.

Kedua: membaca Al-Qur'an sebelum terbit matahari Alangkah baiknya sebelum mata melihat dunia, sebaiknya mata membaca Al-Qur'an terlebih dahulu dengan penuh pemahaman.

Ketiga: jangan tinggalkan masjid terutama di waktu shubuh. Sebelum melangkah kemana pun langkahkan kaki ke mesjid, karena mesjid merupakan pusat keberkahan, bukan kerana panggilan muadzin tetapi panggilan Allah yang mencari orang beriman untuk memakmurkan mesjid Allah.

Keempat: jaga sholat dhuha, karena kunci rezeki terletak pada solat dhuha.

Kelima: jaga sedekah setiap hari. Allah menyukai orang yang suka bersedekah, dan malaikat Allah selalu mendoakan kepada orang yang bersedekah setiap hari.

Keenam: jaga wudhu terus menerus karena Allah menyayangi hamba yang berwudhu. Kata khalifah Ali bin Abu Thalib, "Orang yang selalu berwudhu senantiasa ia akan merasa selalu solat walau ia sedang tidak solat, dan dijaga oleh malaikat dengan dua doa, ampuni dosa dan sayangi dia ya Allah".

Ketujuh: amalkan istighfar setiap saat. Dengan istighfar masalah yang terjadi kerana dosa kita akan dijauhkan oleh Allah.

Zikir adalah bukti syukur kita kepada Allah. Bila kita kurang bersyukur, maka kita kurang berzikir pula, oleh karena itu setiap waktu harus selalu ada penghayatan dalam melaksanakan ibadah ritual dan ibadah ajaran Islam lainnya. Zikir juga merupakan makanan rohani yang paling bergizi, dan dengan zikir berbagai kejahatan dapat ditangkal sehingga jauhlah umat manusia dari sifat-sifat yang berpangkal pada materialisme dan hedonisme.

di kutip dari: http://www.iluvislam.com/v1/readarticle.php?article_id=1391

Rabu, 01 September 2010

Zakat

Apa itu zakat

Kita mengenal zakat sebagai salah satu dari lima rukun Islam yang di dalam Al Qur’an sering kali dikaitkan dengan shalat. Zakat berasal dari bentukan kata zaka yang berarti ’suci’, ‘baik’, ‘berkah’, ‘tumbuh’, dan ‘berkembang’. Menurut terminologi syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. Kaitan antara makna secara bahasa dan istilah ini berkaitan erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang (At-Taubah:103 dan Ar-Rum:39).
Pada dasarnya ada dua macam zakat, yaitu Zakat Maal atau zakat atas harta kekayaan; dan Zakat fitrah yaitu zakat untuk membersihkan diri yang dibayarkan pada bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri.
Ada beberapa konsep dan istilah yang digunakan sehubungan dengan zakat, antara lain:
Muzakki
Adalah orang yang berkewajiban membayarkan zakat karena memiliki harta yang melebihi ukuran tertentu.
Mustahiq
Adalah orang yang berhak menerima zakat karena termasuk salah satu dari golongan orang yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai penerima zakat.
Amil
Adalah orang atau badan/lembaga yang mengkhususkan diri untuk mengelola zakat, infaq, dan sedekah.
Nisab
Adalah batas minimal untuk harta yang perlu dikeluarkan zakatnya. Harta yang jumlahnya di bawah nishab tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
Haul
Untuk beberapa jenis harta, kewajiban zakat dikenakan jika harta tersebut sudah dimiliki selama jangka waktu tertentu (satu tahun). Jangka waktu ini disebut haul.

Beberapa ayat dan hadits mengenai zakat

Surat at Taubah ayat 58-60:
“Diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang memburuk-burukkanmu karena sedekahmu. Tetapi jika diberi sebagian darinya, mereka senang: jika tiada diberi, mereka murka. Sekiranya mereka rela dengan apa yang diberikan, Allah dan RasulNya kepadanya dan mengatakan, “Allah cukup bagi kami, Allah dan RasulNya akan memberi kami sebagian dari karuniaNya. Kepada Allah kami memanjatkan harapan.” SEDEKAH HANYALAH BAGI FAKIR MISKIN, PARA AMIL, PARA MUALLAF YANG DIBUJUK HATINYA, MEREKA YANG DIPERHAMBA, MEREKA YANG MANDI HUTANG, JIHAD DI JALAN ALLAH, DAN ORANG YANG TERLANTAR DALAM PERJALANAN. DEMIKIAN DIWAJIBKAN ALLAH. ALLAH MAHA TAHU MAHA BIJAKSANA.” Surat at Taubah ayat 103:
“Pungut zakat dari kekayaan mereka, berarti kau membersihkan dan mensucikan mereka dengan zakat itu, kemudian doakanlah mereka, doamu itu sungguh memberikan kedamaian buat mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Peristiwa Jibril mengajarkan kepada kaum Muslimin dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menarik kepada Rasulullah, “Apakah itu Islam?” Nabi menjawab: “Islam adalah mengikrarkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya, mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan naik haji bagi yang mampu melaksanakannya.” (hadis muttafaq ‘alaih).

Apa saja harta yang terkena zakat

Persyaratan harta yang wajib dizakatkan itu ada lima:
  • Al-milk at-tam. Harta itu dikuasai secara penuh dan dimiliki secara sah, yang didapat dari usaha, bekerja, warisan, atau pemberian yang sah, dimungkinkan untuk dipergunakan, diambil manfaatnya, atau disimpan. Harta yang bersifat haram tidaklah sah dan tak akan diterima zakatnya.
  • An-namaa. Harta yang berkembang jika diusahakan atau memiliki potensi untuk berkembang, misalnya harta perdagangan, peternakan, pertanian, deposito mudharabah, usaha bersama, obligasi, dlsb.
  • Telah mencapai nisab. Harta itu telah mencapai ukuran tertentu. Misalnya untuk hasil pertanian telah mencapai jumlah 653kg, emas / perak telah senilai 85gr emas, peternakan sapi telah mencapai 30 ekor, dsb.
  • Telah melebihi kebutuhan pokok. Yaitu kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarganya yang menjadi tanggungannya untuk kelangsungan hidupnya.
  • Telah mencapai satu tahun (haul) khusus untuk harta-harta tertentu, misalnya perdagangan. Tetapi untuk harta jenis lain, misalnya pertanian, zakatnya dikeluarkan pada saat harta tersebut didapatkan.
Ada sementara ulama yang hanya membatasi wajib zakat itu pada delapan benda saja, yaitu unta, sapi, kambing, gandum, sorgum, kurma, emas, dan perak. Pendapat ini adalah didasarkan pada kenyataan bahwa hadits-hadits yang ada hanya secara eksplisit mengatur ke delapan benda ini. Namun pendapat umumnya ulama saat ini adalah bahwa semua harta baik yang tersurat maupun yang tidak, selama memenuhi syarat-syarat wajib zakat, maka wajib dizakati. Alasannya, sesungguhnya keumuman dalil dari Al-Quran dan Hadits menetapkan pada setiap harta yang berkembang terdapat hak bagi orang lain. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan dalam harta mereka terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak meminta-minta” (QS Adz-Dzariyat [51]:19).
Oleh karena itu, semua harta benda, apa pun bentuk dan jenisnya, apabila telah memenuhi syarat-syarat wajib zakat, maka wajib dizakati.

Berapa besarnya zakat dan kapan harus dibayarkan

Ada beberapa jenis zakat maal yang telah diatur dengan jelas pada zaman nabi Muhammad s.a.w., antara lain:
  1. Zakat An’am (binatang ternak)
    Meliputi unta, sapi, kerbau, dan kambing. Syaratnya: telah dimiliki secara penuh selama satu tahun, digembalakan di rumput tanpa membeli, dan bukan untuk dipakai bekerja (membajak sawah / menarik gerobak). Zakat yang harus dibayarkan kira-kira satu ekor untuk setiap 40 ekor unta, sapi, dan kerbau; atau satu ekor kambing setiap 100 ekor. Lengkapnya ada di tabel.
  2. Zakat emas dan perak
    Syaratnya telah dimiliki secara penuh selama satu tahun. Nisab emas adalah 85 gram sedangkan perak adalah 595 gram. Besar zakatnya adalah 2.5%.
  3. Zakat Zuru’ (biji-bijian seperti beras, gandum, jagung, dsb)
    Syaratnya adalah dimiliki penuh, sengaja ditanam dan telah mencapai nisabnya, serta mengenyangkan dan tahan lama disimpan. Apabila tanaman itu hidup dari air hujan/sungai (tanpa biaya pengairan), maka zakatnya 10% dari hasil panen. Jika pengairannya dari membeli, maka zakatnya 5% dari hasil panen.
  4. Zakat harta perniagaan
    Bila telah dimiliki secara penuh selama setahun dan nilai dagangan telah mencapai seharga 85 gram emas, maka wajib dikeluarkan zakatnya 2.5%. Sabda Rasulullah s.a.w.:
    “Kain-kain yang disediakan untuk dijual, wajib dikeluarkan zakatnya.” (HR.Al Hakim)
    “Rasulullah memerintahkan kepada kami mengeluarkan zakat barang yang disediakan untuk dijual.” (HR.Daruquthni dan Abu Daud)
  5. Zakat Ma’din (hasil tambang)
    Hasil tambang emas atau perak apabila telah sampai nisabnya wajib dikeluarkan zakatnya pada waktu penambangan dilakukan tanpa harus dimiliki selama setahun.
  6. Zakat Rikaz (harta terpendam)
    Zakat atas harta terpendam adalah 20% (seperlima) dari jumlah hartanya dan tidak disyaratkan harus dimiliki lebih dulu selama satu tahun.
Adapun zakat-zakat atas harta benda lain diambil dengan qiyas (persamaan) terhadap harta benda yang diatur di atas. Misalnya zakat atas uang tunai dipersamakan dengan nilai tunai dari emas. Salah satu jenis zakat yang pendekatannya adalah melalui qiyas dan pendapat ulama adalah zakat profesi. Topik ini dibahas secara khusus karena menurut hemat kami sangat relevan dengan kehidupan umumnya pengguna situs portalinfaq.

Zakat profesi

Zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun yang dilakukan bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nisab. Contohnya adalah profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, seniman, dll. Kewajiban zakat ini berdasarkan keumuman kandungan makna Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 103:
“Ambillah olehmu zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (At-Taubah: 103)
dan surat Al-Baqarah ayat 267
“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah olehmu sekalian sebaik-baik hasil usahamu …” (Al-Baqarah: 267)
Zakat profesi sejalan dengan tujuan disyariatkannya zakat, seperti untuk membersihkan dan mengembangkan harta serta menolong para mustahiq. Zakat profesi juga mencerminkan rasa keadilan yang merupakan ciri utama ajaran Islam, yaitu kewajiban zakat pada semua penghasilan dan pendapatan. Mengenai nisab, besar, dan waktu pembayarannya, ada dua pendekatan untuk zakat profesi, yaitu
  1. setelah diperhitungkan selama satu tahun
    Nisabnya adalah jika pendapatan satu tahun lebih dari senilai 85gr emas dan zakatnya dikeluarkan setahun sekali sebesar 2,5% setelah dikurangi kebutuhan pokok.
  2. dikeluarkan langsung saat menerima
    pendapat ini dianalogikan pada zakat tanaman. Jika ini yang diikuti, maka besar nisabnya adalah senilai 653 kg beras dan dikeluarkan setiap menerima penghasilan/gaji sebesar 2,5% tanpa terlebih dahulu dipotong kebutuhan pokok (seperti petani ketika mengeluarkan zakat hasil panennya).

Siapa yang berhak menerima zakat

Dalam Quran surat at Taubah ayat 58-60, Allah berfirman yang artinya:
“… Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi fakir miskin, para amil, para muallaf yang dibujuk hatinya, mereka yang diperhamba, orang-orang yang berutang, yang berjuang di jalan Allah, dan orang kehabisan bekal di perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Jadi jelaslah disini, bahwa golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) ada delapan golongan, yaitu:
  • Fakir dan Miskin
    Fakir dan miskin adalah golongan yang pertama dan kedua disebutkan dalam surat at Taubah, dengan tujuan bahwa sasaran zakat adalah menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan dalam masyarakat Islam. Menurut pemuka ahli tafsir, Tabari, yang dimaksud fakir, yaitu orang dalam kebutuhan, tapi dapat menjaga diri tidak meminta-minta. Sedangkan yang dimaksud dengan miskin, yaitu orang yang dalam kebutuhan dan suka meminta-minta.
  • Amil zakat
    Sasaran ketiga adalah para amil zakat. Yang dimaksud dengan amil zakat adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan para penjaganya. Juga mulai dari pencatat sampai kepada penghitung yang mencatat keluar masuk zakat.
  • Golongan muallaf
    Yang dimaksudkan dengan golongan muallaf, antara lain adalah mereka yang diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau terhalangnya niat jahat mereka atas kaum Muslimin, atau harapan akan adanya kemanfaatan mereka dalam membantu dan menolong kaum Muslimin dari musuh. Macam-macam golongan muallaf adalah:
    1. Golongan yang diharapkan keislamannya atau keislaman kelompok serta keluarganya
    2. Golongan orang yang dikuatirkan kelakuan jahatnya
    3. Golongan orang yang baru masuk Islam
    4. Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk Islam yang mempunyai sahabat-sahabat kafir.
    5. Pemimpin dan tokoh kaum Muslimin yang berpengaruh di kalangan kaumnya, akan tetapi imannya masih lemah.
    6. Kaum Muslimin yang tinggal di benteng-benteng dan daerah perbatasan musuh.
    7. Kaum Muslimin yang membutuhkannya untuk mengurus zakat orang yang tidak mau mengeluarkan, kecuali dengan paksaan.
  • Untuk memerdekakan budak belian
    Cara membebaskan bisa dilakukan dengan dua hal: Pertama, menolong hamba mukatab, yaitu budak yang telah ada perjanjian dan kesepakatan dengan tuannya, bahwa bila ia sanggup menghasilkan harta dengan nilai dan ukuran tertentu, maka bebaslah ia. Kedua, seseorang dengan harta zakatnya atau seseorang bersama temannya membeli seorang budak kemudian membebaskan. Atau penguasa membeli seorang budak dari harta zakat yang diambilnya, kemudian ia membebaskan.
  • Orang yang berutang
    Gharimun (orang yang berhutang) adalah termasuk golongan mustahiq. Menurut Ibnu Humam dalam al Fath, gharim adalah orang yang mempunyai piutang terhadap orang lain dan boleh menyerahkan zakat kepadanya karena keadaannya yang fakir, bukan karena mempunyai piutangnya. Ada dua golongan bagi orang yang mempunyai utang, yaitu golongan yang mempunyai utang untuk kemaslahatan diri sendiri, seperti untuk nafkah, membeli pakaian, mengobati orang sakit. Golongan lain adalah orang yang mempunyai utang untuk kemaslahatan orang lain, seperti mendamaikan dua golongan yang bermusuhan, orang yang bergerak di bidang sosial, seperti yayasan anak yatim, rumah sakit untuk fakir, anak yatim piatu dan lain-lain.
  • Di jalan Allah
    Quran menggambarkan sasaran zakat yang ketujuh dengan firmanNya: “Di jalan Allah”. Sabil berarti jalan. Jadi sabilillah artinya jalan yang menyampaikan pada ridha Allah, baik akidah maupun perbuatan. Sabilillah adalah kalimat yang bersifat umum, mencakup segala amal perbuatan ikhlas, yang digunakan untuk bertakkarub kepada Allah, dengan melaksanakan segala perbuatan wajib, sunat dan bermacam kebajikan lainnya.Ibnu sabil
    Ibnu sabil, menurut Jumhur ulama adalah kiasan untuk musafir, yaitu orang yang melintas dari suatu daerah ke daerah lain. Dikatakan untuk orang yang berjalan di atasnya karena tetap di jalan itu. Menurut pendapat beberapa ulama, ibnu sabil mempunyai hak dari zakat, walaupun ia kaya, apabila ia terputus bekalnya. Ibnu Zaid berkata: “Ibnu sabil adalah musafir, apakah ia kaya atau miskin, apabila terdapat musibah dalam bekalnya, atau hartanya samasekali tidak ada, atau terkena sesuatu musibah atas hartanya, atau ia samasekali tidak memiliki apa-apa, maka dalam keadaan demikian itu, hanya bersifat pasti.
Sedangkan fihak-fihak di luar dari 8 golongan (asnaf) ini tidak dibenarkan menerima uang dari zakat. Tetapi tidak tertutup fihak-fihak tersebut menerima bantuan dari infaq. Jadi sasaran zakat lebih spesifik dari pada infaq.

Tata cara membayar zakat

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membayar zakat.
Pertama, sucikan niat sebelum menunaikan zakat (juga infaq / sedekah). Pastikan bahwa amal perbuatan kita ditujukan hanya dan semata-mata untuk Allah swt.
Kedua, telitilah sasaran zakat; apakah dia benar-benar termasuk golongan yang berhak menerima uang zakat. Hal ini tidak berlaku untuk infaq yang boleh diberikan kepada siapa saja.
Ketiga, utamakanlah orang-orang yang dekat jika memberi zakat langsung kepada mustahiq dan tidak melalui lembaga amil. Tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan orang-orang dekat tidak termasuk istri, anak-anak, atau orang tua sebab ketiga kelompok ini memang berhak atas nafkah seseorang.
Keempat, ketika memberikan zakat ucapkan kata-kata yang baik dan santun kepada penerima. Janganlah kita membatalkan pahala atas perbuatan atau amal kita dengan perkataan yang tidak patut dan menyakitkan.
Kelima, tunaikanlah zakat ketika saatnya tiba. Menunda-nunda pembayaran zakat tidak dikehendaki oleh Islam dan seluruh ajaran Islam, termasuk zakat, mendidik manusia untuk disiplin dan tepat waktu.
Pada prinsipnya, dibenarkan oleh syariat Islam apabila seseorang yang berzakat langsung memberikan sendiri zakatnya kepada para mustahiq dengan syarat kriteria mustahiq sejalan dengan firman Allah swt dalam surat At-Taubah:60. Akan tetapi, sejalan dengan firman Allah tersebut dan juga berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad saw, tentu akan lebih utama jika zakat itu disalurkan lewat amil zakat yang amanah, bertanggung jawab, dan terpercaya. Ini dimaksudkan agar distribusi zakat itu tepat sasaran sekaligus menghindari penumpukan zakat pada mustahiq tertentu yang kita kenal sementara mustahiq lainnya -karena kita tidak mengenalnya- tak mendapatkan haknya.Disamping itu, ada mustahiq yang berani terang-terangan meminta dan ada pula mustahiq yang merasa berat (malu) untuk meminta. Dengan demikian, dimungkinkan kita hanya memberi kepada mereka yang terang-terangan meminta, sementara kepada yang merasa berat meminta kita sama sekali tidak memperhatikan.

Sumber: www.portalinfaq.org

Kamis, 26 Agustus 2010

Cara Makan Rasulullah SAW.

Jika kita mengamati pola makan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Maka kita akan dapati bahwa beliau mengumpulkan beberapa aspek,
diantaranya aspek faidah, kenikmatan dan penjagaan terhadap kesehatan,
seperti yang ditetapkan oleh ilmu kedokteran baik dulu maupun sekarang,
bahwa mengkonsumsi makanan secara berlebihan akan mengakibatkan
berbagai penyakit, dan beliau tidak pernah makan hingga kekenyangan,
beliau bersabda:
"Cukuplah bagi manusia untuk mengkonsumsi beberapa suap makanan saja
untuk menegakkan tulang sulbinya (rusuknya).
Akan tetapi manusia secara tabiat enggan untuk menkonsumsi makan dengan
pola ini dan mungkin kebanyakan kita tidak mampu untuk melakukannya ,
jika demikian keadaannya, maka diperbolekan makan tapi hendaknya jangan
melebihi sepertiga dari perut kita, sebagaimana sabda beliau:
"Jika tidak bisa demikian, maka hendaknya ia memenuhi sepertiga
lambungnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk
bernafas".
Ibnul Qayyim rahimahullah membagi tingkat makanan menjadi tiga tingkatan:
1 Tingkat kebutuhan: yaitu seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. "Cukuplah bagi manusia untuk mengkonsumsi beberapa suap makanan saja
untuk menegakkan tulang rusuknya" Jika tidak mampu menahan dirinya
untuk menkonsumsi lebih maka ia berpindah ke tingkat berikutnya yaitu
2 Tingkatan cukup: yaitu mengisi sepertiga perutnya untuk untuk
makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk bernafas, dan
hikmah dibalik itu dikarenakan perut kita mempunyai kapasitas yang
sangat tebatas dan jika semuanya dipenuhi dengan makanan maka
maka tidak ada tempat lagi untuk minum dan sulit bernafas
3 Adapun tingkat ketiga adalah tingkat berlebihan: tingkat ini bisa
membahayakan dirinya tanpa ia sadari, dan hal ini banyak dialami oleh
kita, dan kebanyakan orang yang terjangkit penyakit gula, depresi,
kegemukan, jantungan dan stroke tidak lain adalah disebabkan karena
mereka tidak mengatur pola makan mereka dengan baik, serta
berlebihan dalam makan dan minum.

Berikut ini beberapa tata cara dan adab makan yang dianjurkan oleh Nabi
kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
1- Membaca basmalah ( بسم الله ) sebelum makan, dan jika lupa maka
membaca:
"Dengan menyebut nama Allah pada awal dan akhirnya"
2- Duduk dengan baik tegap dan tidak menyandar, karena hal itu lebih
baik bagi lambung sehingga makanan akan turun dengan sempurna. Dan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melarang kita untuk makan
sambil bersandar
Beliau bersabda: "Sesungguhnya aku tidak makan dengan bersandar"
3- Mencuci tangan sebelum makan, sebagaimana yang dianjurkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
4- Menggunakan tangan kanan.
5- Bersikap sederhana dan tidak berlebih-lebihan ketika makan.
6- Memulai makan dari yang dekat dan tidak memenuhi mulut dengan
makanan yang banyak.
7- Tidak banyak bicara ketika sedang makan.
8- Disunnahkan untuk makan secara berjamaah dan tidak berpencar
sendiri-sendiri,karena jamaah akan mempererat persaudaraan dan
menyebabkan turunnya barokah pada makanan kita.
9- Ketika makan berjamaah dalam satu tempat makan maka jangan
mengembalikan apa yang tersisa ditangan ke tempat makan, akan
tetapi ambilah suapan yang sedikit hingga tidak bersisa.
10- Tidak mengeluarkan suara keras ketika mengunyah makanan, karena
hal itu mengganggu orang lain.
11- Jangan mengawasi dan melihat-lihat orang yang sedang makan,
karena hal itu mengganggu perasaan mereka, dan mengurangi selera
makan.
12- Tidak menyisakan makanan dipiring, bahkan kita dianjurkan untuk
membersihkan tangan dan jari-jari kita dengan mulut ketika selesai
makan,dan jika ada makanan yang jatuh supaya dipungut dan
dibersihkan kemudian dimakan.
13-Membaca hamdalah dan doa setelah makan:
Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini dan
menganugerahkannya kepadaku tanpa susah payah.
14-Mencuci tangan setelah makan.
Inilah beberapa tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dalam
makan dan minum, semoga kita bisa mengikuti petunjuk dan meniti
jejaknya, amin- ya Rabbal 'alamin.

Source : www.islamhouse.com/files/id/ih.../id_rules_of_the_prophet_to_food.pdf

The Coming of Islam in Indonesia

The Indian Ocean continued to serve as both a commercial and a cultural link between Indonesia and the countries to the west. Thus Islam, which was established on the Arabian Peninsula by the Prophet Muhammad in the seventh century A.D., followed the Hindu and Buddhist religions into the archipelago. By the late twentieth century, approximately 85 percent of Indonesia's inhabitants considered themselves to be Muslim. Among some Indonesians, Islam is only an element in a syncretic belief system that also includes animist and Hindu-Buddhist concepts. Others are intensely committed to the faith. Like the introduction of Indian civilization, the process of Islamization is obscure because of the lack of adequate historical records and archeological evidence. The archipelago was not invaded by outsiders and forcibly converted. Yet states that had converted to Islam often waged war against those that adhered to the older, Hindu-Buddhist traditions. Religious lines, however, do not appear to have been clearly drawn in Javanese statecraft and war.

Over the centuries, merchants from Arabian Sea and Indian Ocean ports and mystics and literary figures propagated the faith. Because commerce was more prevalent along the coasts of Sumatra, Java, and the eastern archipelago than in inland areas of Java, it is not surprising that Islamization proceeded more rapidly in the former than the latter. According to historian M.C. Ricklefs, legends describe the conversion of rulers to Islam in coastal Malay regions as a "great turning point" marked by miracles (including the magical circumcision of converts), the confession of faith, and adoption of Arabic names. Javanese chroniclers tended to view it as a much less central event in the history of dynasties and states. But the Javanese chronicles mention the role of nine (or ten) saints (wali in Arabic), who converted rulers through the use of supernatural powers.

Doubtless small numbers of Muslims traveled through and resided in the archipelago at a very early date. Historical records of the Chinese Tang Dynasty (A.D. 618-907) tell of Arab traders who must have stopped at Indonesian ports along the way to Guangzhou and other southern Chinese ports. Yet the conversion of rulers and significant numbers of indigenous peoples to Islam apparently did not begin until around the late thirteenth century.

Many areas of the archipelago resisted the religion's spread. Some, such as Ambon, were converted to Christianity by Europeans. Others preserved their distinctiveness despite powerful Islamic neighbors. These included small enclaves on Java and the adjacent island of Bali, where animist and Hindu beliefs created a distinct, inward-looking culture.

The first reliable evidence of Islam as an active force in the archipelago comes from the Venetian traveler Marco Polo. Landing in northern Sumatra on his way back to Europe from China in 1292, he discovered an Islamic town, Perlak, surrounded by non-Islamic neighbors. An inscription from a tombstone dated 1297 reveals that the first ruler of Samudra, another Sumatran state, was a Muslim; the Arab traveler Muhammad ibn-'Abdullah ibn-Battuta visited the same town in 1345-46 and wrote that its monarch was a Sunni rather than a Shia Muslim. By the late fourteenth century, inscriptions on Sumatra were written with Arabic letters rather than older, indigenous or Indian-based scripts.

There also were important Chinese contacts with Java and Sumatra during this period. Between 1405 and 1433, a Chinese Muslim military leader, the Grand Eunuch Zheng He, was commissioned by the Ming Dynasty (1368-1643) emperor to make seven naval expeditions, each comprising hundreds of ships and crews numbering more than 20,000. The various expeditions went from China to Southeast Asia, South Asia, the Arabian Peninsula and East Africa. Rather than voyages of exploration, these expeditions followed established trade routes and were diplomatic in nature and helped expand contacts among and provide information about the regions visited. Zheng used Java and Sumatra as waystops and, on his first voyage, destroyed a Chinese pirate fleet based near Palembang on the north coast of Sumatra. He also is said to have developed close contacts with Melaka on the Malay Peninsula.

The major impetus to Islamization was provided by Melaka, a rich port city that dominated the Strait of Malacca and controlled much of the archipelago's trade during the fifteenth century. According to legend, Melaka was founded in 1400 by a princely descendant of the rulers of Srivijaya who fled Palembang after an attack by Majapahit. Originally a Hindu-Buddhist, this prince converted to Islam and assumed the name Iskandar Syah. Under his rule and that of his successors, Melaka's trading fleets brought Islam to coastal areas of the archipelago. According to the sixteenth century Portuguese chronicler Tomé Pires, whose Suma Oriental is perhaps the best account of early sixteenth century Indonesia, most of the Sumatran states were Muslim. The kingdom known as Aceh, founded in the early sixteenth century at the western tip of Sumatra, was a territory of strong Islamic allegiance. In Pires's time, the ruler of the Minangkabau people of central Sumatra and his court were Muslim, but their subjects were not.

In eastern Indonesia, Islamization proceeded through the sixteenth and seventeenth centuries, often in competition with the aggressive proselytization of Portuguese and other Christian missionaries. According to Pires, the island states of Ternate and Tidore, off the west coast of Halmahera in Maluku, had Muslim sultans, and Muslim merchants had settled in the Banda Islands. In 1605 the ruler of Gowa in southern Sulawesi (Celebes) converted to Islam and subsequently imposed Islam on neighboring rulers. Muslim missionaries were sent from the north coast of Java to Lombok, Sulawesi, and Kalimantan until the late seventeenth century.

Because of the antiquity of Java's civilizations and the relative isolation of some of its most powerful kingdoms, the process of Islamization there was both complex and protracted. The discovery of Muslim gravestones dating from the fourteenth century near the site of the Majapahit court suggests that members of the elite converted to Islam while the king remained an adherent of Indian religions. The early focus of conversion was the northern coastal region, known as the Pasisir (Javanese for coast). Melaka's domination of trade after 1400 promoted a substantial Islamic presence in the Pasisir region, which lay strategically between Melaka to the west and Maluku to the east. Muslim merchants were numerous, although their role in the conversion of royal courts is unclear. The north shore state of Gresik was ruled by one of the nine saints. During the sixteenth century, after Melaka had ceased to be an Islamic center following its capture by the Portuguese in 1511, the Malay trading network shifted to Johore and northwest Kalimantan.

In the early seventeenth century, the most powerful state in Central Java was Mataram, whose rulers cultivated friendly relations with the Pasisir states, especially Gresik, and tolerated the establishment of Islamic schools and communities in the countryside. Tolerance may have been motivated by the rulers' desire to use the schools to control village populations. Muslim groups in the interior were often mutually antagonistic, however, and sometimes experienced official persecution. The greatest of Mataram's rulers, Sultan Agung (reigned 1613-46), warred against various Javanese states and defeated as many as he could. Without shedding the Hindu-Buddhist or Javanese animist attributes of kingship, he sought and received permission from Mecca to assume the Islamic title of sultan in 1641.

Scholars have speculated on why Islam failed to gain a large number of converts until after the thirteenth century, even though Muslim merchants had arrived in the islands much earlier. Some have suggested that the Sufi* tradition--a mystical branch of Islam that emphasizes the ultimate reality of God and the illusoriness of the perceived world--may have been brought into the islands at this time. Given the mystical elements of both Sufism and indigenous beliefs, it may have been more appealing to Indonesians than earlier, more austere, and law-bound versions of Islam. Yet according to Ricklefs, no evidence of the existence of Sufi brotherhoods in the early centuries has been found.

Source: http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Islam/default.htm
(Based on information from M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia: c. 1300 to the Present,Bloomington: Indiana University Press, 1981, 316.)